Sabtu, 02 Juni 2012

Pesona Strato Gunung Telomoyo



Catatan perjalanan oleh Seshi Kurniawati.

Gunung Telomoyo merupakan gunung api yang terletak di wilayah Kabupaten Semarang dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Gunung ini belum pernah tercatat meletus. Pada akhir tahun 2011, saya dan teman-teman saya menelusuri lika-liku jejak menuju puncak gunung ini. Yang hanya berawal dari iseng utak-utik internet mencari tempat untuk menyegarkan pikiran. Dan terpilihlah Gunung Telomoyo, gunung yang berbentuk strato (kerucut) untuk kami jajal.
Kami berlima, perempuan semua, prepare dari pagi-pagi buta. Kami sama sekali belum tahu bagaimana kondisi medan di sana. Hanya bermodal nekat, kami pun berangkat.
Perjalanan kami mulai dari Semarang menuju Ungaran - Bawen - Salatiga - Pasar Sapi - Kopeng dilanjutkan ke kecamatan Grabag dan melewati perempatan Secang. Setelah memasuki kawasan pedesaan, yang kami temui hanya perbukitan hijau, asri dan masih alami. Angin pun semilir dingin.
Mendaki hingga puncak dapat menggunakan kendaraan maupun jalan kaki. Jalanan di sana sudah berupa aspal, namun harus tetap berhati-hati karena masih banyak kerikil dan beberapa jalan yang rusak. Dari sebuah perempatan yang terdapat kawasan pertokoan dan pasar Grabag, perjalanan kami teruskan lurus menuju ke arah Ngablak melalui jalan sempit dan menanjak. Kiri kanan kami terdapat pemandangan persawahan yang luas dan berlatar gunung. Sebab Gunung Telomoyo diapit 4 gunung, yakni Gunung Merbabu, Gunung Andong, Gunung Sumbing, dan Gunung Ungaran.
Sambil menikmati pemandangan, kami mencoba mengabdikan dengan memotret keindahan alam beserta aktivitas para petani yang berada di lereng gunung yang cukup menarik.
Tiba di pintu masuk, kami dihadang petugas tiket, dan kami pun dikenakan tarif masuk sebesar 2.000 per orang. Sempat ketar-ketir karena bensin mobil yang kami tunggangi hampir habis. Lalu saya menanyai bapak petugas tiket tersebut: “Nyuwun sewu, pak. Bensin kulo telas. Menawi wonten sing kagungan bensin eceran teng mriki pundi nggih, pak?” Awalnya sempat pesimis karena di kanan kiri saya hanya terlihat pepohonan dan tak ada rumah penduduk sama sekali. Namun bapak petugas itu tiba-tiba membawakan kabar baik. Ternyata selain menjadi petugas tiket, beliau juga jualan bensin di situ. (Alhamdulillah)


Hampir sampai di puncak, kami sempat berhenti sebentar untuk melakukan ritual. Tentu saja dengan berfoto-foto. Pemandangan hujau pohon cemara dan rumput-rumput yang bergoyang mesra tertiup angin membuat pikiran adem ayem. Puncak Gunung Merbabu tampak agung di sebelah kiri dan di bawah terlihat betapa eloknya Danau Rawa Pening berkilauan seperti kaca raksasa. Angin yang segar berhembus meniup helaian rambut kami.
Menelusuri lereng Gunung Telomoyo sangat mengasyikan sekaligus menegangkan. Jalanan yang melingkar seperti ular melilit hingga ujung. Sebelah kiri tebing curam, dan di sebelah kanan hutan penuh dengan bebatuan besar. Semakin ke atas, jalan semakin terjal dan menyempit. Sempat beberapa kali kami kesusahan, ban terselip karena jalanan penuh dengan kerikil dan ban mobil kami bukan tipe ban gunung.
Sempat bertanya pada orang yang kebetulan bertemu lawan arah, kira-kira berapa lama lagi kami dapat menginjak puncak. Mereka bilang, kurang lebih 15 menit lagi sudah sampai puncak! Serentak sumringah dengar kabar itu. Cukup lelah mengendarai mobil dengan keadaan jalanan seperti itu. Rusak dan bebatuan terjal. 5 menit kemudian, ban mobil kami terselip lagi. Mencoba tuk paksakan dengan gas tinggi, tapi tidak berhasil. Jalanan rata dengan bebatuan berukuran sedang bercampur dengan tanah yang membuat licin. Kami berfikiran untuk melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Namun apa daya, kami tidak berani meninggalkan mobil sendirian, tempat ini sepi nian. Perasaan kami campur aduk. Coba bayangkan, ujung perjalanan yang sudah dinanti-nanti hampir 3 jam berakhir di tempat yang jarak tempuhnya kurang dari  10 menit lagi! Cuma kurang 10 meniiiiitttttttt! (nangis batin).
Kami berlima sepakat untuk tidak memaksakan perjalanan. Yang kami fikirkan sekarang, bagaimana caranya agar mobil bisa berputar balik. Jalanan yang curam dan sempit tidak memungkinkan untuk melakukan itu. Saya pun mencoba memundurkan mobil secara perlahan, mencari tikungan yang sekiranya cukup untuk memutarkan mobil. Dan Alhamdulillah kami menemukan tikungan itu! Meski harus maju-mundur beberapa kali, memainkan stir dengan menekukkannya terus-menerus, bersyukur mobil kami dapat putar balik ke arah pulang.



Sebetulnya, di lereng Gunung Telomoyo terdapat banyak pesona air terjun yang menarik, namun karena cuaca semakin siang, pemandangan yang indah dan eksotis itu pun tertutup kabut. Jalanan mulai tak telihat jelas, samar-samar. Memburu waktu agar kabut tidak semakin tebal, kami terus melaju tanpa singgah di mana pun untuk beristirahat dan bergegas menuju kaki gunung.
Cerita dari banyak orang, bahwa di puncak Gunung Telomoyo terdapat pemandangan yang sangat mengagumkan. Di sana terdapat wahana yang sangat menantang adrenalin. Paralayang! Dan saya sempat membaca di salah satu media, medan paralayang di Gunung Telomoyo adalah medan paralayang tertinggi di Indonesia! Sangat disayangkan, kami tidak dapat menggapai puncak. selain itu, di sana juga terdapat pemancar radio.
Melakukan perjalanan ke Gunung Telomoyo jika menggunakan kendaraan, diharapkan untuk mengecek segalanya, mulai dari bensin, oli, kampas rem, dan lain-lain. Jika memilih untuk jalan kaki, siapkan stamina yang benar-benar fit. Trekking di sana memakan waktu seharian penuh. Medan untuk trekking tidak sukar, namun jarak yang harus ditempuh lah yang membuat para pendaki sering dehidrasi.



Memandang alam dari ketinggian adalah pesona yang tak kan ternilai keindahannya. Dan alangkah baiknya jika para pendaki sadar diri, bersedia membawa kotoran/sampah (yang kalian bawa sendiri) turun sampai ke kaki gunung :)

Senin, 28 Mei 2012

Menerobos Hutan Berlumpur di Pulau Sempu (Jawa Timur)



Catatan perjalanan oleh Seshi Kurniawati.

Perjalanan ke Pulau Sempu ini sebenarnya sudah rencana tahun lalu. Namun sering tertunda karena banyak hal. Hingga akhirnya saya dan teman-teman baru sempat meluangkan waktu untuk melancong ke sana pada 18 Mei 2012.
Awalnya saya memilih transportasi kereta untuk menempuh perjalanan ke Malang. Tapi tanpa saya sadari, tanggal yang saya pilih bertepatan dengan hari besar dan juga long weekend. Sehingga tiket ludes dan saya pun tak kebagian. Lalu saya memilih opsi kedua, yaitu naik bus. Berangkat dari Semarang menuju Surabaya dengan tiket seharga 40.000, oper lagi dengan bus dari Surabaya ke Malang seharga 10.000. Saya memilih lewat Surabaya karena tidak ada bus yang langsung ke Malang untuk jalur ekonomi.
Sesampainya di Malang, saya dan teman-teman mencari persewaan tenda (karena kami berencana bermalam di Pulau Sempu). Total peserta perjalanan ini 10 orang (2 perempuan dan 8 laki-laki).
Perlengkapan yang dibawa (bagi yang ingin bermalam):
  1. Backpack
  2. Air mineral 1 liter (2 botol/orang)
  3. Cemilan
  4. Baju ganti luar dalam
  5. Jaket tebal
  6. Tisu basah
  7. Headlamp/senter
  8. Sendal jepit
  9. Ponco/jas hujan
  10. Tenda
  11. Matras
  12. Kompor
  13. Snorkel
  14. Pelampung
  15. Kamera (underwater)
  16. Kotak P3K
  17. Sunblock
  18. Permen/coklat

Pulau Sempu adalah pulau kecil yang termasuk cagar alam (artinya alamnya masih terjaga dan dibiarkan sebagaimana aslinya, tidak ada pembangunan apapun) dan berada di seberang Pantai Sendang Biru yang berada kurang lebih 65 km di selatan Malang atau 38 km dari Turen.
Perjalanan dimulai jam 12 siang. Dari Malang, kami naik mobil APV (sewaan) dan pak Saiful sebagai supir menuju Pantai Sendang Biru. Mewah amat ya kami nyewa mobil? Sebenarnya atas dasar banyak pertimbangan, selain karena keterbatasan waktu, ternyata setelah dihitung-hitung perkiraan total biaya jika menggunakan mobil rental tidak terlalu mahal jika dibagi ber-10. Terbentur libur panjang, persewaan mobil di Malang serentak memuncak. Yang biasanya 275.000, naik menjadi 400.000 (udah plus bensin dan supir).
Jika ingin ke Sempu menggunakan angkutan umum, rute dan biayanya:
  • Arjosari - Gadang = 3.000 (30 menit) - disarankan pilih angkot AMG karena rutenya lebih dekat
  • Gadang - Pasar Turen = 4.000 (30 menit) - berupa bis/colt/elf
  • Pasar Turen - Sendang Biru = 12.000 (90 menit) - angkot ini akan ngetem cukup lama hingga penumpang penuh
  •  

Perjalanan kami dari kota Malang ke Sendang Biru memakan waktu sekitar 2 jam. Jalan yang ditempuh berliku-liku dan naik turun. Tapi banyak pemandangan asri yang kami temui sepanjang jalan. Bagi orang-orang yang berdomisili di Jakarta, yang tiap hari bertemu deretan gedung menjulang tinggi dan perumahan, pemandangan ini benar-benar menyegarkan mata.

Sesampainya di Pantai Sendang Biru, kami dituntut untuk membayar 10.000 per orang sebagai biaya masuk sekaligus parkir.
Selemparan lembing pandangan, tampak Pulau Sempu yang begitu rimbun dengan pepohonan. Lalu kami diminta untuk ijin dulu ke kantor Dinas Kehutanan. Perahu yang menyeberangkan kami ke Pulau Sempu tidak diperbolehkan jalan sebelum mendapat ijin tersebut. Di dalam kantor, kami diberi pengarahan dan ternyata kami tidak diberi ijin untuk menyeberang karena terkendala waktu yang sudah hampir gelap. Namun jikalau kami mendapatkan ijin, persyaratan yang harus dipenuhi yaitu: menandatangani surat perjanjian bahwa tidak akan menyakiti alam Sempu, termasuk membuang sampah selama di sana, dan membayar biaya administrasi 50.000 (nah ini yang saya ragukan ke-legal-annya).
Setelah kami tidak mendapatkan ijin, kami pun sepakat untuk nekat. Lalu kami berbincang pada salah dua nelayan di sana memohon untuk menyeberangkan kami tanpa ada surat perijinan. Dan Alhamdulillah nelayan itu bersedia. Kami juga ditawari jasa pemandu untuk menuju Segara Anakan Sempu dengan biaya 100.000, kami memilih tidak menggunakan pemandu karena sebelumnya sudah mendapat informasi bahwa untuk menuju ke sana tidak sulit karena hanya ada satu jalan sehingga tidak akan tersesat. Mereka juga memperingatkan kami untuk hati-hati karena malam sebelumnya hujan sehingga medan jalan di Pulau Sempu lebih sulit untuk dilalui. Kami juga ditawari menyewa sepatu untuk trekking seharga 10.000, namun kami memilih berjalan dengan sepatu kami masing-masing.
Kami pun menyewa 1 perahu untuk menyeberang ke Pulau Sempu dengan biaya 100.000 (pulang-pergi) muat untuk 10 orang. Senang sekali rasanya naik perahu menuju Sempu, pemandangan Samudera Hindia yang indah dari perahu mengawali perjalanan seru di Pulau Sempu. Sekitar 10 menit kemudian, kami tiba di pantai yang dipenuhi pohon-pohon bakau, kami turun dari perahu dan mulai berjalan. Sebelumnya kami mencatat nomor handphone pemilik perahu, agar bisa dihubungi saat kami pulang nanti untuk dijemput (meskipun terpencil, tapi masih ada sinyal lho!).
Tiba di Sempu, petualangan pun dimulai. Rimbunnya hutan tropis menyebarkan semerbak oksigen yang begitu menyegarkan, sangat berbeda dengan udara kota. Kami bersiap-siap tuk trekking kurang lebih 4 km dan tak lupa berdoa dulu. Pada saat itu jarum jam tepat pukul 4 sore. Kami pun mulai berjalan menelusuri hutan. Baru beberapa meter menginjak hutan, kami bertemu rombongan yang menuju arah pulang. Mereka memberi saran kepada kami untuk tidak memulai perjalanan sore ini karena medannya sangat berat dan berlumpur. Namun kami selalu teringat dengan kendala waktu dan sangu. Kami pun tetap kekeuh melanjutkan perjalanan.




Kami telah berada di tengah-tengah hutan yang sama sekali tak berpenghuni. Jalan yang kami lalui tak semudah dengan apa yang saya bayangkan. Jalan dilumuri lumpur tebal membuat kami susah untuk berjalan. Bebatuan yang tertutup lumpur sering kali membuat kami tersandung dan terpeleset.
Langit mulai gelap, kami serentak mengeluarkan headlamp dan senter untuk menerangi jalan. Jangan harap di sini kalian bisa nemuin listrik yaa! Jadi kalian gak mungkin nemuin cahaya selain dari headlamp dan senter. Hehehe.. Dan selama trekking, tak lupa kami pun melakukan absen dengan berhitung.
5 jam pun berlalu, waktu semakin malam. Teman-teman pun mulai susah terlihat karena semua badan rata dengan lumpur. Dan kami semakin kesusahan memilih jalan karena terkendala gelap, lumpur yang licin, bebatuan terjal, daaaaaannn hujan! That’s perfect!
Lumpur demi lumpur kami lalui dengan ekstra hati-hati. Tajamnya akar pepohonan sering kali membuat kami tertusuk, sehingga kami benar-benar memaksimalkan pengelihatan kami dengan penerangan seadanya.

Dalam perjalanan, kami sempat berkhayal, seandainya di tengah hutan ada yang berjualan es teh. Subhanalloh.. Seger!

Sebentar saya melirik jam, ternyata sudah jam setengah 11 malam. Sempat down karena jalan di kegelapan membuat mata pedih dan berasa buta, karena kami penjelajah amatir dan saat itu sedang musim hujan. Sampai akhirnya samar-samar terlihat sebuah danau dan terdengar suara air menghantam karang. Mungkinkah itu Segara Anakan Sempu?
Dalam kegelapan malam, kami hampir tiba di sana. Benar-benar diperlukan stamina yang fit untuk melalui medan yang cukup berat ini. Menjelang Segara Anakan, jantung saya kembali terpacu karena harus menyusuri lereng karang selebar kurang dari satu meter dengan danau di sisi kanan. Yak! Cukup menantang!

 
Akhirnya kami semua menginjakkan pasir putih dengan pemandangan yang begitu dasyat di depan mata, seakan semua rasa lelah tidak terasa lagi.

Di tepi Segara Anakan, kami mendirikan tenda untuk menginap. Namun setelah kami melihat ke langit, ternyata rombongan bintang berpacu semua ke danau ini. Kami memutuskan untuk tidur di luar tenda menggunakan matras. Dan kami pun tidur beratapkan bintang-bintang dan menyaksikan banyak bintang jatuh.



Keesokan harinya, barulah kami dapat menikmati keindahan Segara Anakan. Amboooooooiii…!!! Indah nian. Sebuah laguna berair jernih, berpasir putih, dengan lubang air tempat air laut masuk. Dikelilingi bukit-bukit karang dan pepohonan lebat, makin asrilah laguna ini. Tak jauh dari segara anakan, kita dapat menaiki bukit untuk menikmati megahnya lereng curam, ganasnya ombak membentur dinding tebing dan laut lepas Samudra Hindia. Sungguh takjub melihat kebesaran Illahi.
Semakin siang, air pun semakin pasang dan danau ini makin dipenuhi air. Dan kami pun bermain air, berenang sembari melihat ikan-ikan dan terumbu karang di danau yang bagaikan surga ini. Setelah itu, saya tertantang untuk menaiki tebing tinggi pemisah antara Segara Anakan dan Samudera Hindia. Saya pun mulai menaiki tebing itu dengan sangat hati-hati, karena harus melewati batu karang yang sangat runcing. Saya penasaran, banyak orang yang bilang dari tebing ini dapat melihat barisan lumba-lumba. Sesampainya di puncak tebing.. Subhanalloh.. Indah bangeeeeeeeett! Saya dapat menyaksikan Segara Anakan secara keseluruhan, menikmati birunya Samudera Hindia, dan kencangnya ombak yang membentur dinding tebing. Sudah hampir 15 menit saya termangu menunggu datangnya lumba-lumba, tapi tak kunjung juga.




Kami ber-10 mengisi perut dengan seadanya dan sangat mengirit dalam meminum air mineral. Karena di sini tidak ada air bersih, hanya ada air laut. Maka dari itu, jangan lupa siapin tisu basah untuk bilas setelah bermain air yaa!
Sempat sedikit kecewa karena saya dan rekan-rekan melakukan perjalanan ini bertepatan dengan long weekend. Sehingga laguna biru yang memukau itu dipenuhi oleh orang-orang yang sedang berenang, terlihat menjadi lautan manusia.
Mungkin memang kesalahan kami kurang tepat memilih waktu. Di samping long weekend, musim hujan pula.
Meski sepatu yang kami kenakan saat trekking jebol, dan memutuskan untuk meneruskan perjalanan dengan kaki telanjang, dan membuat kaki kami lecet-lecet, yang jelas, keindahan Segara Anakan sangatlah mempesona dan membuat para traveler jatuh cinta!



Saya tidak kapok untuk kembali ke Pulau Sempu, tapi mungkin tidak dalam waktu dekat :)