Gunung Telomoyo merupakan gunung api yang terletak di
wilayah Kabupaten Semarang dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Gunung ini
belum pernah tercatat meletus. Pada akhir tahun 2011, saya dan teman-teman saya
menelusuri lika-liku jejak menuju puncak gunung ini. Yang hanya berawal dari
iseng utak-utik internet mencari tempat untuk menyegarkan pikiran. Dan
terpilihlah Gunung Telomoyo, gunung yang berbentuk strato (kerucut) untuk kami
jajal.
Kami berlima, perempuan semua, prepare dari pagi-pagi buta. Kami sama sekali belum tahu bagaimana
kondisi medan di sana. Hanya bermodal nekat, kami pun berangkat.
Perjalanan kami mulai dari Semarang menuju Ungaran - Bawen -
Salatiga - Pasar Sapi - Kopeng dilanjutkan ke kecamatan Grabag dan melewati
perempatan Secang. Setelah memasuki kawasan pedesaan, yang kami temui hanya perbukitan
hijau, asri dan masih alami. Angin pun semilir dingin.
Mendaki hingga puncak dapat menggunakan kendaraan maupun
jalan kaki. Jalanan di sana sudah berupa aspal, namun harus tetap berhati-hati
karena masih banyak kerikil dan beberapa jalan yang rusak. Dari sebuah
perempatan yang terdapat kawasan pertokoan dan pasar Grabag, perjalanan kami
teruskan lurus menuju ke arah Ngablak melalui jalan sempit dan menanjak. Kiri
kanan kami terdapat pemandangan persawahan yang luas dan berlatar gunung. Sebab
Gunung Telomoyo diapit 4 gunung, yakni Gunung Merbabu,
Gunung Andong,
Gunung Sumbing,
dan Gunung Ungaran.
Sambil menikmati pemandangan, kami mencoba mengabdikan dengan
memotret keindahan alam beserta aktivitas para petani yang berada di lereng
gunung yang cukup menarik.
Tiba di pintu masuk, kami dihadang petugas tiket, dan kami
pun dikenakan tarif masuk sebesar 2.000 per orang. Sempat ketar-ketir karena bensin
mobil yang kami tunggangi hampir habis. Lalu saya menanyai bapak petugas tiket
tersebut: “Nyuwun sewu, pak. Bensin kulo telas. Menawi wonten sing kagungan
bensin eceran teng mriki pundi nggih, pak?” Awalnya sempat pesimis karena di
kanan kiri saya hanya terlihat pepohonan dan tak ada rumah penduduk sama sekali.
Namun bapak petugas itu tiba-tiba membawakan kabar baik. Ternyata selain
menjadi petugas tiket, beliau juga jualan bensin di situ. (Alhamdulillah)
Hampir sampai di puncak, kami sempat berhenti sebentar untuk
melakukan ritual. Tentu saja dengan berfoto-foto. Pemandangan hujau pohon cemara dan rumput-rumput yang bergoyang mesra tertiup
angin membuat pikiran adem ayem. Puncak Gunung Merbabu tampak agung di sebelah
kiri dan di bawah terlihat betapa eloknya Danau Rawa Pening berkilauan seperti kaca
raksasa. Angin yang segar berhembus meniup helaian rambut kami.
Menelusuri lereng Gunung Telomoyo sangat mengasyikan
sekaligus menegangkan. Jalanan yang melingkar seperti ular melilit hingga
ujung. Sebelah kiri tebing curam, dan di sebelah kanan hutan penuh dengan
bebatuan besar. Semakin ke atas, jalan semakin terjal dan menyempit. Sempat
beberapa kali kami kesusahan, ban terselip karena jalanan penuh dengan kerikil
dan ban mobil kami bukan tipe ban gunung.
Sempat bertanya pada orang yang kebetulan bertemu lawan arah,
kira-kira berapa lama lagi kami dapat menginjak puncak. Mereka bilang, kurang
lebih 15 menit lagi sudah sampai puncak! Serentak sumringah dengar kabar itu. Cukup
lelah mengendarai mobil dengan keadaan jalanan seperti itu. Rusak dan bebatuan terjal.
5 menit kemudian, ban mobil kami terselip lagi. Mencoba tuk paksakan dengan gas
tinggi, tapi tidak berhasil. Jalanan rata dengan bebatuan berukuran sedang
bercampur dengan tanah yang membuat licin. Kami berfikiran untuk melanjutkan
perjalanan dengan jalan kaki. Namun apa daya, kami tidak berani meninggalkan
mobil sendirian, tempat ini sepi nian. Perasaan kami campur aduk. Coba
bayangkan, ujung perjalanan yang sudah dinanti-nanti hampir 3 jam berakhir di
tempat yang jarak tempuhnya kurang dari 10 menit lagi! Cuma kurang 10
meniiiiitttttttt! (nangis batin).
Kami berlima sepakat untuk tidak memaksakan perjalanan. Yang
kami fikirkan sekarang, bagaimana caranya agar mobil bisa berputar balik. Jalanan
yang curam dan sempit tidak memungkinkan untuk melakukan itu. Saya pun mencoba
memundurkan mobil secara perlahan, mencari tikungan yang sekiranya cukup untuk memutarkan
mobil. Dan Alhamdulillah kami menemukan tikungan itu! Meski harus maju-mundur
beberapa kali, memainkan stir dengan menekukkannya terus-menerus, bersyukur
mobil kami dapat putar balik ke arah pulang.
Sebetulnya, di lereng Gunung Telomoyo terdapat banyak pesona
air terjun yang menarik, namun karena cuaca semakin siang, pemandangan yang
indah dan eksotis itu pun tertutup kabut. Jalanan mulai tak telihat jelas,
samar-samar. Memburu waktu agar kabut tidak semakin tebal, kami terus melaju
tanpa singgah di mana pun untuk beristirahat dan bergegas menuju kaki gunung.
Cerita dari banyak orang, bahwa di puncak Gunung Telomoyo
terdapat pemandangan yang sangat mengagumkan. Di sana terdapat wahana yang
sangat menantang adrenalin. Paralayang! Dan saya sempat membaca di salah satu
media, medan paralayang di Gunung Telomoyo adalah medan paralayang tertinggi di
Indonesia! Sangat disayangkan, kami tidak dapat menggapai puncak. selain itu,
di sana juga terdapat pemancar radio.
Melakukan perjalanan ke Gunung Telomoyo jika menggunakan
kendaraan, diharapkan untuk mengecek segalanya, mulai dari bensin, oli, kampas
rem, dan lain-lain. Jika memilih untuk jalan kaki, siapkan stamina yang benar-benar fit. Trekking
di sana memakan waktu seharian penuh. Medan untuk trekking tidak sukar, namun
jarak yang harus ditempuh lah yang membuat para pendaki sering dehidrasi.
Memandang alam dari ketinggian adalah pesona yang tak kan
ternilai keindahannya. Dan alangkah baiknya jika para pendaki sadar diri,
bersedia membawa kotoran/sampah (yang kalian bawa sendiri) turun sampai ke kaki
gunung :)
Perjalanan ke Pulau Sempu ini sebenarnya sudah rencana tahun lalu. Namun
sering tertunda karena banyak hal. Hingga akhirnya saya dan teman-teman baru
sempat meluangkan waktu untuk melancong ke sana pada 18 Mei 2012.
Awalnya saya memilih transportasi kereta untuk menempuh perjalanan ke
Malang. Tapi tanpa saya sadari, tanggal yang saya pilih bertepatan dengan hari
besar dan juga long weekend. Sehingga tiket ludes dan saya pun tak kebagian.
Lalu saya memilih opsi kedua, yaitu naik bus. Berangkat dari Semarang menuju
Surabaya dengan tiket seharga 40.000, oper lagi dengan bus dari Surabaya ke Malang
seharga 10.000. Saya memilih lewat Surabaya karena tidak ada bus yang langsung
ke Malang untuk jalur ekonomi.
Sesampainya di Malang, saya dan teman-teman mencari persewaan tenda
(karena kami berencana bermalam di Pulau Sempu). Total peserta perjalanan ini
10 orang (2 perempuan dan 8 laki-laki).
Perlengkapan yang dibawa (bagi yang ingin bermalam):
Backpack
Air mineral 1 liter (2 botol/orang)
Cemilan
Baju ganti luar dalam
Jaket tebal
Tisu basah
Headlamp/senter
Sendal jepit
Ponco/jas hujan
Tenda
Matras
Kompor
Snorkel
Pelampung
Kamera (underwater)
Kotak P3K
Sunblock
Permen/coklat
Pulau Sempu adalah pulau
kecil yang termasuk cagar alam (artinya alamnya masih terjaga
dan dibiarkan sebagaimana aslinya, tidak ada pembangunan apapun) dan berada di
seberang Pantai Sendang Biru yang berada kurang lebih 65 km di selatan Malang
atau 38 km dari Turen.
Perjalanan dimulai jam 12 siang.
Dari Malang, kami naik mobil APV (sewaan) dan pak Saiful sebagai supir menuju Pantai Sendang Biru. Mewah amat ya kami nyewa mobil? Sebenarnya atas
dasar banyak pertimbangan, selain karena keterbatasan waktu, ternyata setelah
dihitung-hitung perkiraan total biaya jika menggunakan mobil rental tidak
terlalu mahal jika dibagi ber-10. Terbentur libur panjang, persewaan mobil di
Malang serentak memuncak. Yang biasanya 275.000, naik menjadi 400.000 (udah
plus bensin dan supir).
Jika ingin ke Sempu menggunakan angkutan umum, rute
dan biayanya:
Arjosari - Gadang = 3.000 (30 menit) -
disarankan pilih angkot AMG karena rutenya lebih dekat
Gadang - Pasar Turen = 4.000 (30 menit) -
berupa bis/colt/elf
Pasar Turen - Sendang Biru = 12.000 (90 menit)
- angkot ini akan ngetem cukup lama hingga penumpang penuh
Perjalanan kami dari kota Malang ke Sendang
Biru memakan waktu sekitar 2 jam. Jalan
yang ditempuh berliku-liku dan naik turun. Tapi banyak pemandangan asri yang
kami temui sepanjang jalan. Bagi orang-orang yang berdomisili di Jakarta, yang
tiap hari bertemu deretan gedung menjulang tinggi dan perumahan, pemandangan
ini benar-benar menyegarkan mata.
Sesampainya di Pantai Sendang Biru, kami dituntut untuk membayar 10.000
per orang sebagai biaya masuk sekaligus parkir. Selemparan lembing pandangan, tampak Pulau
Sempu yang begitu rimbun dengan pepohonan. Lalu kami
diminta untuk ijin dulu ke kantor Dinas Kehutanan. Perahu yang menyeberangkan
kami ke Pulau Sempu tidak diperbolehkan jalan sebelum mendapat ijin tersebut.
Di dalam kantor, kami diberi pengarahan dan ternyata kami tidak diberi ijin
untuk menyeberang karena terkendala waktu yang sudah hampir gelap. Namun
jikalau kami mendapatkan ijin, persyaratan yang harus dipenuhi yaitu: menandatangani
surat perjanjian bahwa tidak akan menyakiti alam Sempu, termasuk membuang
sampah selama di sana, dan membayar biaya administrasi 50.000 (nah ini yang saya
ragukan ke-legal-annya).
Setelah kami tidak mendapatkan ijin, kami pun sepakat untuk nekat. Lalu kami
berbincang pada salah dua nelayan di sana memohon untuk menyeberangkan kami tanpa
ada surat perijinan. Dan Alhamdulillah nelayan itu bersedia. Kami juga ditawari
jasa pemandu untuk menuju Segara Anakan Sempu dengan biaya 100.000, kami memilih
tidak menggunakan pemandu karena sebelumnya sudah mendapat informasi bahwa
untuk menuju ke sana tidak sulit karena hanya ada satu jalan sehingga tidak
akan tersesat. Mereka juga memperingatkan kami untuk hati-hati karena malam
sebelumnya hujan sehingga medan jalan di Pulau Sempu lebih sulit untuk dilalui.
Kami juga ditawari menyewa sepatu untuk trekking seharga 10.000, namun kami
memilih berjalan dengan sepatu kami masing-masing.
Kami pun menyewa 1 perahu untuk menyeberang ke Pulau
Sempu dengan biaya 100.000 (pulang-pergi) muat untuk 10 orang. Senang sekali
rasanya naik perahu menuju Sempu, pemandangan Samudera Hindia yang indah dari
perahu mengawali perjalanan seru di Pulau Sempu. Sekitar 10 menit kemudian, kami
tiba di pantai yang dipenuhi pohon-pohon bakau, kami turun dari perahu dan mulai berjalan.
Sebelumnya kami mencatat nomor handphone pemilik perahu, agar bisa dihubungi
saat kami pulang nanti untuk dijemput (meskipun terpencil, tapi masih ada sinyal lho!).
Tiba di Sempu, petualangan pun dimulai. Rimbunnya hutan tropis
menyebarkan semerbak oksigen yang begitu menyegarkan, sangat berbeda dengan
udara kota. Kami bersiap-siap tuk trekking kurang lebih 4 km dan
tak lupa berdoa dulu. Pada saat itu jarum jam tepat pukul 4 sore. Kami pun
mulai berjalan menelusuri hutan. Baru beberapa meter menginjak hutan, kami
bertemu rombongan yang menuju arah pulang. Mereka memberi saran kepada kami
untuk tidak memulai perjalanan sore ini karena medannya sangat berat dan
berlumpur. Namun kami selalu teringat dengan kendala waktu dan sangu. Kami pun
tetap kekeuh melanjutkan perjalanan.
Kami telah berada di tengah-tengah hutan yang sama
sekali tak berpenghuni. Jalan yang kami lalui tak semudah dengan apa yang
saya bayangkan. Jalan dilumuri lumpur tebal membuat kami susah untuk berjalan. Bebatuan
yang tertutup lumpur sering kali membuat kami tersandung dan terpeleset.
Langit mulai gelap, kami serentak mengeluarkan
headlamp dan senter untuk menerangi jalan. Jangan harap di sini kalian bisa
nemuin listrik yaa! Jadi kalian gak mungkin nemuin cahaya selain dari headlamp
dan senter. Hehehe.. Dan selama trekking, tak lupa kami pun melakukan absen
dengan berhitung.
5 jam pun berlalu, waktu semakin malam. Teman-teman
pun mulai susah terlihat karena semua badan rata dengan lumpur. Dan kami semakin
kesusahan memilih jalan karena terkendala gelap, lumpur yang licin, bebatuan terjal, daaaaaannn
hujan! That’s perfect!
Lumpur demi lumpur kami lalui dengan ekstra hati-hati. Tajamnya akar pepohonan sering kali membuat kami tertusuk, sehingga kami benar-benar memaksimalkan pengelihatan kami dengan penerangan seadanya.
Dalam perjalanan, kami sempat berkhayal, seandainya di tengah hutan ada yang berjualan es teh. Subhanalloh.. Seger!
Sebentar
saya melirik jam, ternyata sudah jam setengah 11 malam. Sempat down karena jalan di kegelapan membuat
mata pedih dan berasa buta, karena kami penjelajah amatir dan saat itu sedang
musim hujan. Sampai akhirnya samar-samar terlihat sebuah danau dan terdengar
suara air menghantam karang. Mungkinkah itu Segara Anakan Sempu?
Dalam
kegelapan malam, kami hampir tiba di sana. Benar-benar
diperlukan stamina yang fit untuk melalui medan yang cukup berat ini. Menjelang Segara Anakan,
jantung saya kembali terpacu karena harus menyusuri lereng karang selebar
kurang dari satu meter dengan danau di sisi kanan. Yak! Cukup menantang!
Akhirnya kami semua menginjakkan pasir putih dengan pemandangan yang begitu dasyat di depan mata, seakan semua rasa lelah tidak terasa lagi.
Di
tepi Segara Anakan, kami mendirikan tenda untuk menginap. Namun setelah kami
melihat ke langit, ternyata rombongan bintang berpacu semua ke danau ini. Kami
memutuskan untuk tidur di luar tenda menggunakan matras. Dan kami pun tidur
beratapkan bintang-bintang dan menyaksikan banyak bintang jatuh.
Keesokan
harinya, barulah kami dapat menikmati keindahan Segara Anakan. Amboooooooiii…!!!
Indah nian. Sebuah laguna berair jernih, berpasir putih, dengan lubang air
tempat air laut masuk. Dikelilingi bukit-bukit karang dan pepohonan lebat,
makin asrilah laguna ini. Tak jauh dari segara anakan, kita dapat menaiki bukit
untuk menikmati megahnya lereng curam, ganasnya ombak membentur dinding tebing dan
laut lepas Samudra Hindia. Sungguh takjub melihat kebesaran Illahi.
Semakin
siang, air pun semakin pasang dan danau ini makin dipenuhi air. Dan kami pun
bermain air, berenang sembari melihat ikan-ikan dan terumbu karang di danau yang
bagaikan surga ini. Setelah itu, saya tertantang untuk menaiki tebing tinggi
pemisah antara Segara Anakan dan Samudera Hindia. Saya pun mulai menaiki tebing
itu dengan sangat hati-hati, karena harus melewati batu karang yang sangat
runcing. Saya penasaran, banyak orang yang bilang dari tebing ini dapat melihat
barisan lumba-lumba. Sesampainya di puncak tebing.. Subhanalloh.. Indah
bangeeeeeeeett! Saya dapat menyaksikan Segara Anakan secara keseluruhan,
menikmati birunya Samudera Hindia, dan kencangnya ombak yang membentur dinding
tebing. Sudah hampir 15 menit saya termangu menunggu datangnya lumba-lumba,
tapi tak kunjung juga.
Kami ber-10 mengisi perut dengan seadanya dan
sangat mengirit dalam meminum air mineral. Karena di sini tidak ada air bersih,
hanya ada air laut. Maka dari itu, jangan lupa siapin tisu basah untuk bilas
setelah bermain air yaa!
Sempat sedikit kecewa karena saya dan rekan-rekan
melakukan perjalanan ini bertepatan dengan long weekend. Sehingga laguna biru yang memukau
itu dipenuhi oleh orang-orang yang sedang berenang, terlihat menjadi lautan
manusia.
Mungkin memang kesalahan kami kurang tepat memilih
waktu. Di samping long weekend, musim hujan pula.
Meski sepatu yang kami kenakan saat trekking jebol,
dan memutuskan untuk meneruskan perjalanan dengan kaki telanjang, dan membuat
kaki kami lecet-lecet, yang jelas, keindahan Segara Anakan sangatlah mempesona
dan membuat para traveler jatuh cinta!
Saya tidak kapok untuk kembali ke Pulau Sempu, tapi
mungkin tidak dalam waktu dekat :)